Posts Tagged ‘hukum’

Percepatan Reformasi atau Ambruk

November 29, 2009

Reformasi 1998 yang digulirkan mahasiswa dan tokoh-tokoh nasional ternyata belum tuntas. Masih banyak hal yang tidak tersentuh reformasi. Tumpang tindih kelembagaan, perilaku jahat yang merugikan rakyat, tetap ada – bahkan lebih ganas dan tak bisa dikendalikan oleh sistem kenegaraan kita. Tak heran bila 11 tahun terakhir ini, bangsa Indonesia masih berjalan tertatih-tatih, dan cenderung ambruk. Karena itu, diperlukan percepatan reformasi. Yaitu membenahi reformasi dan mempercepat pelaksanaan reformasi plus itu.

Menurut pendapat saya, setidaknya ada 4 (empat) hal pokok yang harus ditambahkan dalam reformasi.

1. Amandemen UUD ’45, antara lain: a). Memperjelas kedudukan dan tugas presiden dan kepala negara. Kesepakatan pada pemilihan presiden langsung, sudah semestinya dibarengi dengan memberi legitimasi presiden sebagai kepala pemerintahan dan presiden sebagai sekaligus kepala negara – simbol tertinggi negara Republik Indonesia. Sebagai kepala pemerintahan, mitra presiden adalah DPR dan DPD. Sebagai kepala negara, ia berada di atas semua lembaga negara. Karena itu MPR sudah tidak diperlukan lagi. Presiden tidak bisa dimakzulkan oleh lembaga apapun. Seorang presiden hanya bisa berhenti disebabkan oleh mangkat, menghabiskan masa jabatannya, atau mengundurkan diri. (referensi: buku Mengutamakan Rakyat dari Mayjen Saurip Kadi) b). Memperjelas kedudukan angkatan perang. Angkatan perang (TNI) sudah semestinya ditempatkan di bawah kepala negara, karena dia adalah pengawal kedaulatan negara, dan tidak seharusnya duduk di jajaran pemerintahan. Jabatan panglima dialihkan ke ketiga matra (AD, AL, AU), sementara di atasnya adalah kastaf gabungan yang mengkoordinasi panglima-panglima ketiga angkatan tersebut dan merupakan perpanjangan tangan kepala negara sebagai Panglima TNI. Dengan posisi ini, pekerjaan TNI adalah berkonsentrasi penuh untuk penjagaan kedaulatan negara, dengan mengasah terus profesionalisme mereka dan melengkapi mereka dengan alutsista yang memadai. Kebijakan pertahanan ada di Menhan. Akan tetapi, apabila keadaan dalam negeri sangat genting, misalnya adanya ancaman perpecahan, TNI harus ‘turun gunung’ untuk membela demokrasi dalam kerangka NKRI, termasuk bila kepala pemerintahannya melenceng. (referensi: buku Mengutamakan Rakyat dari Mayjen Saurip Kadi) c). Memperjelas pasal 33. Pasal ini perlu ditambah kejelasan, yaitu seluruh kekayaan alam yang mengandung nilai ekonomi di bumi Indonesia, pengusahaannya harus memasukkan saham milik rakyat (kataknlah 30%. Hasil keuntungan dari saham rakyat tersebut harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Kekayaan alam itu adalah hasil tambang dan mineral, laut, hutan, tanah (misal untuk jalan tol, pelabuhan, pelabuhan udara komersial).

2. Reformasi Birokrasi. Seluruh jajaran birokrasi harus dibedah untuk menciptakan pegawai negeri profesional, bergengsi, bersih. Dengan sistem penilaian merit, remunerasi pegawai negeri, termasuk aparat keamanan dan pertahanan negara (TNI dan Polri) dinaikkan ke tingkat yang patut, sehingga mereka bisa hidup cukup, memiliki rumah, dan bisa menyisihkan gaji mereka untuk ditabung atau rekreasi keluarga.

3. Reformasi Ekonomi. a). Politik perekonomian Indonesia perlu memasukkan asas keadilan sosial, yaitu aksi dari negara untuk memberi ruang dan peluang bagi rakyat kecil untuk berdemokrasi ekonomi, sekaligus melarang pengusaha kuat dan pengusaha global untuk masuk ke perekonomian kelas bawah. b). Kebijakan investasi modal dalam negeri dan asing, diarahkan untuk menyerap tenaga kerja masal, berupa industri-industri manufaktur untuk memproduksi barang-barang bernilai tambah untuk ekspor dengan bahan mentah Indonesia (misalnya, mengundang merk chocolate bar Swiss untuk mendirikan pabrik di Sulawesi, memperbanyak pabrik minyak goreng dan energi di Sumatera, mendirikan pabrik mebel di Kalimantan dan Jawa, membuat pabrik pengolahan ikan di Sulawesi, Maluku, Irian, dll).

4. Reformasi Aparat Hukum. a). Reposisi Polri. Sebagai bagian dari civil society atau penjaga keamanan masyarakat, Polri ditempatkan di bawah kementerian dalam negeri (depdagri). Tugas kebijakan, perencanaan, dan anggaran ada di tangan depdagri, sedang tugas Polri adalah penegakan hukum yaitu menyangkut bidang reserse, intelijens, samapta, dan binmas yang dilaksanakan dengan independen dan profesional. Dalam tugas lidik (penyelidikan dan penyidikan), polri disupervisi oleh kejaksaan (penuntut umum), sehingga proses hukum akan cepat dan akurat. Menempatkan polri di bawah presiden seperti sekarang, membuka peluang polri memiliki kekuasaan tanpa kendali, dan membuka ruang polisi berpolitik (padahal bukan bidangnya). b). Badan Investigasi Nasional. Untuk menangani perkara kejahatan yang dilakukan pejabat-pejabat tinggi hingga presiden, amat diperlukan sebuah badan investigasi nasional yang kewenangannya harus diterima semua pihak. Badan itu berisi orang-orang yang bekerja profesional dan independen. Badan ini menyerupai FBI di Amerika, namun kedudukannya lebih tinggi, yakni di bawah kepala negara, bukan di bawah presiden sebagai kepala pemerintahan. Pimpinan badan ini bisa dipilih oleh tim presiden-DPR-DPD-tokoh-tokoh hukum. Dan agar efektif, badan ini memiliki kantor-kantor di setiap ibukota provinsi. Dengan memiliki BIN yang ini, KPK sudah tidak diperlukan lagi.

Terorisme: Saatnya Kita Mengoreksi Diri

August 10, 2009
Presiden SBY. Saatnya mengoreksi.

Presiden SBY. Saatnya mengoreksi.

Di awal abad ke-21 ini, selain IT, yang mengalami kemajuan signifikan adalah terorisme. Revolusi IT yang tujuan dasarnya untuk memudahkan manusia untuk berkomunikasi tanpa sekat teritori, ternyata telah bermanfaat besar pula bagi kemajuan terorisme. Dalam kontex terorisme, “revolusi (IT) telah memakan anak-anaknya sendiri”. Terbukti, dengan mendayagunakan kecanggihan IT, terorisme telah membuat seluruh komponen di negara kita kalang kabut. Masyarakat tercekam, aparat keamanan kerja siang-malam, presiden marah-marah, dan para tokoh masyarakat memutar otak kencang untuk mereka-reka kegilaan aksi para teroris.

Para Elite Sibuk Berpesta

Terorisme itu, yang mulai marak sejak Indonesia memasuki era demokrasi, telah tumbuh makin berakar dan berotot. Perkembangan negara ternyata tak mampu mengatasi pertumbuhan gerakan radikal yang konon dimotori dua gembong asal Malaysia, Dr. Azahari dan Noordin M Top, serta generasi baru gerakan NII itu. Gerakan radikal ini telah mampu menyusup ke simpul-simpul terkecil masyarakat, merekrut kader-kader baru, berbareng dengan ketidakmampuan negara dalam memakmurkan rakyatnya.

Penyebaran paham radikal ini rupanya dapat diterima mulus oleh sebagian masyarakat yang telah putus asa dalam menjalani hidup. Di tengah beratnya mencari nafkah – sementara di birokrasi, korupsi merajalela – sebuah ajaran yang memberi “ketenangan batin” dan fokus, telah merasuk secara sempurna di dalam hati dan pikiran sebagian masyarakat kita. Sesuatu yang terlewatkan dari ambang pikiran para elite negeri yang sebagian besar waktunya habis untuk memikirkan keselamatan posisi diri dan partai masing-masing untuk merengkuh kekuasaan formal.

Setidaknya, dua tahun terakhir ini tatkala para elite sibuk korupsi dan bermanuver untuk pemilu, kelompok teroris yang tidak menyukai demokrasi (yang dikatakan menjiplak kebudayaan Barat) telah menyiapkan rencana aksi mereka dengan tanpa halangan. Bahkan mindset aparat keamanan pun,  telah digiring untuk meladeni persiapan pesta para elite. Akibatnya tahu sendiri, para teroris yang bekerja tertutup, mampu menyetir segala situasi sesuai kemauan mereka.

Saatnya Mengoreksi Diri

Teror bom JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta 17 Juli 2009 lalu dan terusan tindakan-tindakan aparat keamanan, sebaiknya menjadi hikmah para pengelola negara ini untuk mengoreksi diri. Ada beberapa hal yang harus dikejar, untuk mengatasi kekisruhan bangsa, termasuk terorisme.

1. Perbaikan Sistem Politik. Di tingkat kenegaraan, perlu dilakukan kesepakatan ulang mengenai bentuk negara RI. Jika semua setuju NKRI berdasar UUD’45, semua komponen politik harus setuju melaksanakan Pancasila. Pancasila itu satu paket dengan UUD’45. Jangan hapus Pancasila hanya karena kita alergi pada P4 a la Soeharto. P4 boleh kita singkirkan, tapi Pancasila harus kita ejawantahkan.

2. Perbaikan Sistem Hukum. Revisi terhadap UU Terorisme/2003 dengan menambah satu pasal mengenai wewenang aparat keamanan untuk pencegahan terorisme adalah sebuah keharusan. Tanpa wewenang preventif, Polisi (BIN, TNI) hanya akan menjadi “pemadam kebakaran”.

3. Perbaikan Sistem Kemanan dan Pertahanan. Sejak pemisahan Polri dari ABRI, sesungguhnya masih ada loop holes yang belum rampung mengenai pengaturan tata laksana keamanan, khususnya posisi BIN dan TNI dalam tugas-tugas menyangkut terorisme. Dalam sistem pertahanan, elite politik pun belum memberi perhatian memadai terhadap TNI untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI. Ini semua harus diselesaikan segera.

4. Perbaikan Ekonomi. Inilah yang paling crucial, karena di mana-mana di dunia ini, kemiskinan adalah masalah paling rawan dalam kontex tumbuhnya paham ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Kalau semua rakyat mendapat pekerjaan (seperti di RRC), otomatis akan membuat orang tak punya waktu menerima paham-paham exklusif yang menyimpang dari tujuan negara dan melenceng dari kemajemukan masyarakat.

5. Perbaikan Komunikasi Sosial. Sejak negara bergeser menjadi fasilitator dari seluruh kegiatan masyarakat, kita telah melupakan kegotong-royongan negara dan masyarakat. Pembinaan moral dan mental bangsa, sungguh menyedihkan hanya dipasrah-bongkokkan kepada tokoh-tokoh masyarakat, tanpa dukungan dana dan fasilitas dari negara. Memangnya sebuah kumpul-kumpul mengundang ulama atau pendeta itu tidak butuh biaya? Memangnya sebuah kerja bakti dan event sosial tidak butuh peran negara (yang memiliki dana begitu besar)? Tidak semua kegiatan harus dicantelkan dengan sponsorship swasta. Depdagri dengan Kesbang-nya serta Departemen Sosial sudah seharusnya digerakkan untuk terjun ke simpul-simpul masyarakat, untuk melakukan pelurusan-pelurusan. Para pejabatnya jangan hanya bisa memantau dan menganalisis di kantor. Mereka harus terjun langsung ke masyarakat.

6. Perbaikan Tingkah Laku Elite. Masyarakat sesungguhnya telah muak dengan gaya berpolitik para elite yang untuk berdiskusi di muka kamera saja saling menyerobot, seperti tidak punya fatsoen sebagaimana diwariskan para politisi senior kita. Tingkah laku sebagian “all the President’s men” dalam berkomunikasi adalah contoh terburuk dari tingkah laku para elite dewasa ini. Gaya Andi Malarangeng yang lebih sering menggonggong daripada menjelaskan atau menyejukkan, mestinya mendapat teguran dari presiden. Ia menunjukkan dirinya begitu arogan, fatalistik, berpandangan sempit (asal bela bos) dan mau menang sendiri. Sudah dapat dirasakan, dewasa ini elite di luar penguasa menyimpan rasa sakit hati terhadap tangkisan-tangkisan arogan para pembantu presiden dalam beberapa hal – sesuatu yang tidak dapat selesai hanya dengan menawarkan kursi di kabinet. Tingkah laku tidak sopan dan immature adalah pelajaran buruk bagi rakyat.

7. Perbaikan Media. Media massa, utamanya televisi, semestinya mengkaji ulang peranannya. Jaman memang tak dapat ditarik mundur, tetapi kekuasaan nyata yang mereka pegang, seharusnya tidak digunakan sembarangan dengan menerapkan jurnalisme sembrono (spekulatif, bombastis, kurang akurat, kurang mempertimbangkan efek komunikasi dari suatu pemberitaan). Pendekatan rating point dalam programming, seyogyanya diimbangi dengan kearifan. Ingat donk, nasib bangsa sedang melaju ke ujung tanduk.

Ayo Bersatu Bela Prita!

June 3, 2009
prita alone grayscale (detikcom)

Ny. Prita Mulyasari (foto detik.com)

Gara-gara me-milis-kan ketidakpuasannya terhadap layanan RS Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, seorang ibu bernama Prita Mulyasari telah ditahan atas tuduhan pencemaran nama baik. Apa-apaan ini? Kenapa Polisi dan Jaksa begitu mudah menahan orang dengan laporan “pencemaran nama baik”?

Perkembangan terakhir, perkara perdata atas laporan RS Omni terhadap Prita telah disidangkan Kamis (04/06/2009). Tuntutan jaksa justeru mengutamakan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu ps 27 ayat 3 jo 45 ayat 1, dengan ancaman hukuman penjara 6 tahun. Itu adalah pasal yang ditambahkan jaksa, karena ketika mengirimkan BAP ke kejaksaan, polisi hanya mengenakan pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1 tahun (ps 310). 

Setelah membaca surat elektronik Prita dari salah satu blog, saya benar-benar miris, karena dari sudut isi, surat tersebut tak lebih merupakan laporan fakta yang dialami Prita. Jadi, by content, surat tersebut tidak sama sekali bermaksud mencemarkan nama baik dalam arti perbuatan negatif. Bahwa dalam surat tersebut ada unsur emosi, seperti pada judul dan ungkapan-ungkapan lain pada isinya, wajar donk, broer, Prita adalah konsumen yang merasa dipermainkan oleh tindak layanan RS tersebut.

Menimbang Kebenaran Sebuah Laporan

Saya tidak hendak mengompori perkara ini. Tetapi sejauh yang dapat saya tangkap, Prita telah membagi (sharing) pendapatnya lewat milis tentang layanan yang ia dapatkan dari rumah sakit tersebut. Perbuatan Prita itu dijamin oleh pasal 28 UUD ’45 mengenai “kebebasan berpendapat”, juga dijamin sah oleh UU Pokok Pers. Berpendapat itu hak setiap warga negara, boleh dilakukan secara langsung, maupun melalui media. Sementara, hak Prita sebagai konsumen dijamin pula oleh UU Perlindungan Konsumen. Jadi, apabila laporan RS Omni langsung ditanggapi Polisi (dan jaksa) dengan “kacamata kuda”, yakni tidak berusaha menganalisis dulu kebenaran isi surat Prita yang dijadikan bahan laporan RS`Omni, malah kemudian melakukan penahanan ditambah dengan pihak kejaksaan yang langsung menggelar sidang setelah merasa BAPnya lengkap (setelah ditambah pasal-pasal UU ITE), maka kita sebagai rakyat patut mempertanyakan kompetensi para penegak hukum di negara ini. Anda bisa bayangkan, bila suatu kali Anda terlibat suatu perdebatan baik langsung maupun lewat media, tapi lawan Anda melapor ke polisi soal pencemaran nama baik, hari itu juga, Anda bisa langsung masuk tahanan, dan itu dikatakan sesuai dengan UU. Ngeri kali, broer en zus. Tindakan tidak hati-hati terhadap penegakan hukum, jelas akan mencederai HAM, dan menimbulkan diktatorisme baru, baik diktatorisme pemerintahan, maupun diktatorisme korporasi – yang paling mampu membayar proses perkara hukum.

Salah satu gerakan moral bloger (dari detikcom)

Salah satu gerakan moral bloger (dari detik.com)

Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) memantau kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Penahanan Prita juga disoroti sebagai tindakan yang tidak semestinya dilakukan. “Tidak layak, itu semacam diskusi di milis kemudian pihak RS Omni mendapat forward, kemudian mengadukan ke polisi. Sebenarnya ini tidak bisa menjerat dengan pencemaran nama baik. Ini ada kepentingan publik,” kata Komisioner Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo saat berbincang melalui telepon dengan detikcom, Selasa (02/06/2009).

Menurut detik.com (04/06/2009), setelah dilakukan eksaminasi (istilah kita kok banyak berbau Inggris ya?) terhadap penanganan perkara tersebut, Jaksa Agung Hendarman Supanji mengakui anak buahnya di Tangerang tersebut kurang profesional dalam menangani perkara Prita. Nah, loe!

Sejak sekarang, kita sebagai rakyat harus kritis terhadap penegakan hukum oleh negara. Apalagi, undang-undang satu dan lainnya di Indonesia ini sering tumpang tindih. Undang-undang yang lebih khusus, justeru sering melampaui batas kewajaran dalam memberikan hukuman dibanding undang-undang rujukannya. Kalau sudah begini, maklum deh kalau penegak hukumnya pada bingung. Dan lagi-lagi, rakyat yang jadi korban.

STOP PRESS: Rabu, 3 Juni 2009, Prita telah dibebaskan dari tahanan dan berubah statusnya menjadi tahanan kota. Tapi kita tetap perlu mendukungnya dalam pembelaan terhadap demokrasi dan penegakan hak konsumen.