Ambalat: Waspadai Diplomasi Malaysia


Lagi soal blok Ambalat, kawasan bawah laut di Laut Sulawesi yang kaya kandungan minyak dan gas bumi dan diklaim oleh Indonesia dan Malaysia. Isu yang menghangat ini membuat Pangab Malaysia Jenderal Tan Sri Abdul Azis berkunjung ke Menhan Indonesia Juwono Sudarsono di Jakarta, dan rombongan Komisi I DPR berkunjung ke Menhan Malaysia Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi di Kuala Lumpur. Terkait dengan aksi diplomasi kedua belah pihak soal Ambalat, ada baiknya kita menyimak dan mewaspadai isi dan gaya diplomasi Malaysia. Tanpa kewaspadaan, kita akan ‘termakan’ lagi, seperti terjadi pada perebutan pulau Sipadan-Ligitan, terutama karena kita sering percaya “pasrah bongkokan” tanpa reserve terhadap janji (yang mungkin diterjemahkan sebagai komitmen) Malaysia.

Lain Kata, Lain Perbuatan

Menhan Malaysia, Datuk Ahmad Zaid Hamidi (foro: BERNAMA)

Menhan Malaysia, Datuk Ahmad Zaid Hamidi (foto: BERNAMA)

Berikut kutipan dari berita di Harian Timor Expres (13/06/2009): “Jenderal Tan Sri Abdul Azis menyatakan datang dengan setulus hati  untuk meredakan situasi. Abdul Azis juga berjanji untuk menyampaikan permintaan Indonesia kepada TLDM,” ungkap Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, usai pertemuan dengan Jenderal Tan Sri Abdul Aziz, kemarin.  Menurut Juwono, Tan Sri datang untuk menjelaskan bahwa melakukan patroli TLDM dan Police Marine Malaysia semata-mata untuk keamanan maritim negeri jiran itu. “Tidak ada maksud untuk menguasai wilayah laut kita,” tambahnya.

Pada bagian lain Juwono mengatakan, “Kita katakan agar mereka mengurangi kegiatan patroli yang berdekatan   dengan wilayah Indonesia, supaya persepsi tentang pelanggaran kedaulatan negara berkurang,”  jelasnya. Sementara untuk pengamanan wilayah perbatasan, terkait dengan kegiatan patroli perairan, Pemerintah Indonesia menyarankan agar TDM, khususnya Tentera Laut Diraja Malaysia, bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut.” 

Patroli perbatasan bersama-sama ini diyakini dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman antara dua negara yang berbatasan. Ke depannya, Indonesia dan Malaysia akan membuat suatu joint  maritime border patrol. Perjanjian ini antara lain berisi poin bahwa kedua negara dalam melakukan patroli tidak boleh melewati laut teritorial di atas 12 nautical mile, atau suatu lintasan yang disepakati utuk tidak dilanggar.”

Sementara itu, dalam Kabar Internasional TV One (07/06/2009) tertulis:  “Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi, di Kompleks Pusat Pemerintahan Ibukota Malaysia, `Putrajaya`, menyatakan kepada delegasi Parlemen Indonesia, pihaknya tidak akan berperang dengan Republik Indonesia.

“Kita tidak akan berperang dengan Indonesia. Ya, pakaian tentara Diraja Malaysia itu (pakai) produk `Sritex” Indonesia. Bagaimana kita perang,” kata anggota Komisi I DPR RI, Effendy Choirie, Minggu pagi, mengutip pernyataan langsung Menteri Pertahanan (Menhan) Malaysia itu melalui hubungan telefon internasional, langsung dari Kualalumpur, Malaysia.

Effendy Choirie menambahkan, pernyataan itu lahir spontan dari Menhan Malaysia, ketika dia bersama rekannya sesama anggota Komisi I DPR RI, Ali Mocthar Ngabalin (Fraksi Gabungan Bintang Pelopor Demokrasi) dan mantan anggota Komisi I DPR RI, Ade Daud Nasution, datang langsung menyampaikan dua hal penting kepada Pemerintah Malaysia, Sabtu tadi malam (6/6).

Dari pernyataan dua pejabat Malaysia itu terlihat bagaimana ringan dan manisnya diplomasi Malaysia mengatasi isu Ambalat mutakhir, yang justeru telah membuat darah warga Indonesia mendidih. Dengan memberi pernyataan melalui Menhan Juwono, Pangab Malaysia terlihat cerdik untuk tidak mejeng di media Indonesia, yang mungkin akan membuat panas masyarakat Indonesia. “Saya Datang dengan Setulus Hati …,” kata Jenderal Tan Sri Abdul Azis melalui Yuwono Sudarsono. Sebuah pernyataan yang jika tidak dikiritisi, akan sekejap menghapus substansi masalah yang kita ributkan: kedaulatan blok Ambalat. Di pihak lain, tawaran Indonesia yang disampaikan Menhan Juwono mengenai patroli perbatasan bersama, malah terasa khas diplomasi Indonesia yang penuh pengertian (baca: lembek).

Pernyataan Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi (yang oleh Effendi Choirie disebut keturunan Yogya) tentang “Kita tidak akan berperang dengan Indonesia. Ya, pakaian tentara Diraja Malaysia itu (pakai) produk `Sritex” Indonesia” nampaknya juga diterima dengan ‘lega’  oleh rombongan Komisi I DPR kita.

Sejatinya, pernyataan diplomatis kedua pejabat pertahanan Malaysia di atas, jangan diterima “pasrah bongkokan”  – suatu kekeliruan yang telah dilakukan pemerintah Soeharto pada kasus Sipadan-Ligitan. Kedua pejabat pertahanan Malaysia itu hanya meredam isu politik sesaat, tetapi tidak sedikitpun memberi sinyal sebuah pemecahan komprehensif mengenai blok Ambalat. Mereka pandai menahan diri untuk tidak bicara soal perundingan yang menjadi porsi deparlu mereka, dan Pangab Azis memilih tidak menanggapi soal kedaulatan Ambalat yang disinggung oleh Menhan Juwono. Untuk itu, kita tidak boleh mengendurkan perhatian (= kewaspadaan). Buying time, adalah salah satu ciri diplomasi yang diterapkan Malaysia. Fakta membuktikan Malaysia adalah bangsa yang cerdik – bahkan sampai ke hal-hal negatif seperti klaim atas karya batik, penggunaan lagu “rasa`sayange”, dsb. (Baca juga artikel dalam blog ini: “By the Way, Malaysia adalah Musuh Kita” )

Malaysia sama seriusnya dengan Indonesia untuk menguasai  blok Ambalat, terutama setelah kemenangan mereka atas Sipadan-Ligitan. Mari kita ikuti kutipan salah satu bagian dari artikel “Mempelajari Peningkatan Kekuatan Militer Malaysia di Kepulauan Spratley” sebagaimana dimuat dalam blog TANDEF ini:

“Wakil PM Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak (kini PM – pen) dalam kunjungan ke Terumbu Layang-layang pada hari Selasa, 12 Agustus 2008, menjelaskan bahwa pengendalian dan pendudukan suatu daerah yang disengketakan merupakan faktor utama bila kasus Ambalat dibawa ke Mahkamah Internasional. Oleh karena itu, Malaysia akan pertahankan kehadirannya di perairan Ambalat. Najib yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan mengatakan, bahwa  instalasi militer yang dibangun di pos-pos strategis garis depan merupakan  bagian dari langkah-langkah untuk menyokong ZEE.  Analisa Pemerintah Malaysia memandang penting aspek penguasaan wilayah dalam rangka melindungi kedaulatan negara atas wilayahnya sampai ke garis perbatasan pulau terluar. Sebagaimana telah tercatat dalam sejarah, kemenangan Malaysia atas Indonesia dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002 serta kemenangan Singapura atas Malaysia dalam kasus perebutan Pulau Batu Puteh di Mahkamah Internasional tahun 2008 membuktikan bahwa penguasaan secara fisik terhadap wilayah yang disengketakan merupakan faktor penting untuk memenangkan kasus tersebut secara hukum di Mahkamah Internasional.”

Berita di atas menggambarkan betapa Malaysia sangat serius untuk menguasai blok Ambalat yang kaya minyak dan gas bumi. Paling tidak, patroli-patroli TLDM di perairan Ambalat – yang bagi kita sebagian besar adalah provokasi karena sering memasuki jauh ke teritori RI – membawa pesan, negara itu tidak punya niat melepaskan tuntutannya untuk mendapatkan blok Ambalat. Target minimumnya, joint operation ekplorasi minyak di blok Ambalat bersama Indonesia. Paling tidak, ia telah punya pengalaman ketika berhasil memaksa Thailand melakukan hal yang sama dalam sengketa di Teluk Thai. (Baca artikel Syamsa Hawa Khairi berjudul “Bau Pesing Politik Minyak di Ambalat”, ANTARA News.

Lakukan Penguasaan Efektif

Bagi Indonesia, jelas sudah, penguasaan efektif terhadap blok Ambalat adalah sesuatu yang mutlak segera dilaksanakan. Pemerintah hendaknya meminta kontraktor pengeboran minyak yang telah ditunjuk (ENI, Italia) untuk segera melakukan pengeboran dengan kawalan armada TNI-AL. Langkah itu sekaligus akan sepadan dengan tindakan patroli AL yang menghabiskan biaya lumayan besar. Mengapa harus menunggu perundingan, jika kita haqul yakin Ambalat adalah teritori kita? Jangan pernah lagi mengikuti permainan yang dikembangkan Malaysia. Posisi kuat kita menjadikan Indonesia harus mengambil inisiatif dalam pergulatan Ambalat. Mulai sekarang, atau akan menyesal nanti.

Pesawat Nomad dan kapal TNI AL berpatroli di blok Ambalat. Menjaga kedaulatan RI (foto: Kompas)

Pesawat Nomad dan kapal TNI AL berpatroli di blok Ambalat. Menjaga kedaulatan RI (foto: Kompas)

Namun secara internal, kita hendaknya memiliki “reserve” mengenai blok Ambalat. Sebuah artikel di blog TANDEF berjudul “Bahkan Google Earth pun Mengakui Ambalat Punyanya Indonesia” lengkap dengan peta Ambalat, perlu kita kaji lebih lanjut. Di peta blok Ambalat tersebut nampak pulau Sipadan berada dalam garis teritori laut Indonesia yang ditarik dari pulau Sebatik bagian Indonesia. Yang harus kita sadari, sejak Mahkamah Internasional menyatakan Sipadan-Ligitan menjadi milik Malaysia, secara logis mereka akan menuntut wilayah kedaulatan dari pantai Sipadan sampai 12 nautical mile, zona tambahan 12-24 nautical mile, serta zona eksklusif eknomi (ZEE) 200 nautical mile yang merupakan wilayah hak daulat (pakar hukum laut mungkin akan memberi masukan soal ini). Jika demikian adanya, masalah crucial dalam perundingan nanti adalah wilayah blok Ambalat yang bersinggungan antara teritori Indonesia dan teritori Malaysia (Sipadan). (Baca pula blog ANTARA News, artikel “Membela Ambalat dengan Nasionalisme Cerdas” oleh I Made Andi Arsana).

Blok Ambalat dan Pulau Sipadan (#na art- google earth)

Blok Ambalat dan Pulau Sipadan (#na art- google earth)

Mewaspadai gaya diplomasi Malaysia (termasuk cara mereka menunda perundingan), menyiapkan aspek-aspek hukum untuk perundingan (entah kapan akan dilakukan), melakukan eksplorasi minyak (penguasaan efektif), melakukan tindakan pertahanan yang memadai (sambil mulai memperkuat alutsista dan kualitas tempur angkatan perang kita), adalah hal-hal pokok yang harus dilakukan oleh pihak Indonesia dalam waktu segera. Tapi, langkah-langkah ini memerlukan sebuah keputusan politik tegas dari Presiden RI, yang disiarkan luas ke seluruh dunia.

Hal sampingan yang cukup berpengaruh ialah, dewasa ini ada 2 (dua) juta TKI legal dan ilegal berpendidikan rendah di Malaysia. Mereka bisa dijadikan “amunisi” tambahan lawan yang akan merepotkan kita. Oleh karena itu, Indonesia secara jangka pendek harus segera mencari pasar TKI di luar Malaysia, sembari pada jangka menengah harus mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat strata paling bawah menjadi minimal 150 USD (Rp 1.5 juta) per bulan, setara dengan gaji yang diterima oleh TKI yang ada di Malaysia. Dengan tingkat pendapatan seperti itu, tak akan mungkin pekerja Indonesia akan susah-susah naik tongkang ke Malaysia untuk mengadu nasib demi menghidupi keluarga mereka. Hal lain yang tidak boleh dilupakan, dewasa ini kapital Malaysia di perkebunan-perkebunan sawit dan pabrik-pabrik minyak sayur di sini, hendaknya segera dibatasi, dan jika perlu dialihkan kepada pemodal dari Eropa – bukan Asia – sehingga kita tidak terbelenggu oleh perasaan inferior di kalangan tetangga. Semoga persoalan Ambalat disikapi serius oleh para capres kita.

Tags: , , , , , , , , , , , , , ,

Leave a comment